Pages

Selasa, 18 September 2012

Penatalaksanaan Hipoglikemia

Kasus 3

Tn s 40 tahun datang dirawat di IGD karena tidak sadarkan diri. Pasien terdiagnosa DM tipe II sejak 10 tahun yang lalu. Sudah 2 hari ini keluarga menyatakan klien merasa mual sehingga tidak mau makan namun keluarga tetap menyuntikkan insulin sesuai dosis yang di instruksikan dokter. Saat ini berdasarkan hasil pengkajian pada pasien kadar glukosa darah 30 mg/dl. Sebelum pasien tidak sadarkan diri mengeluh berdebar, berkeringat, gemetar, gelisah, mual, pusing , bingung, kelelahan, nyeri kepala, kesulitan berbicara.
Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar glukosa darah berada dibawah kadar
normal. Pada pasien diabetes hipoglikemia dapat terjadi karena terapi insulin yang melebihi
dosis yang dibutuhkan.

Ciri khas  Hipoglikemia :
Hipoglikemia merupakan salah satu komplikasi akut diabetes melitus dan merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes, harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia pada diabetes paling sering disebabkan oleh penggunaan obat sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dan Triad yang meliputi: a) keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa plasma yang rendah; b) kadar glukosa plasma yang rendah (<3 mmol/L hipoglikemia pada diabetes), dan c) gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat.

Penatalaksanaan
  1. Pada stadium permulaan (sadar), diberikan gula murni 30 gram (sekitar 2 sendok makan) atau sirup/permen gula murni (bukan pemanis pengganti gula atau gula diet/gula diabetes) dan makanan yang mengandung karbohidrat. Obat hipoglikemik dihentikan sementara. Glukosa darah sewaktu dipantau setiap 1-2 jam. Bila sebelumnya pasien tidak sadar, glukosa darah dipertahankan sekitar 200 mg/dl dan dicari penyebab hipoglikemia.
  2. Pada stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia), diberikan larutan dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml) bolus intravena dan diberikan cairan dekstrosa 10% per infus sebanyak 6 jam per kolf. Glukosa darah sewaktu diperiksa. Jika GDS < 50 mg/dl, ditambahkan bolus dekstrosa 40% 50 ml secara intravena; jika GDS < 100 mg/dl ditambahkan bolus dekstrosa 40% 25 ml intravena. GDS kemudian diperiksa setiap 1 jam setelah pemberian dekstrosa 40%, jika GDS < 50 mg/dl maka ditambahkan bolus dekstrosa 40% 50 ml intravena; jika GDS < 100 mg/dl maka ditambahkan bolus dekstrosa 40% 25 ml intravena; jika GDS 100-200 mg/dl maka tidak perlu diberikan bolus dekstrosa 40%; jika GDS > 200 mg/dl maka dipertimbangkan untuk menurunkan kecepatan drip dekstrosa 10%. Jika GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDS dilakukan setiap 2 jam dengan protokol sesuai di atas. Jika GDS > 200 mg/dl, pertimbangkan mengganti infus dengan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%. Jika GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDS dilakukan setiap 4 jam dengan protokol sesuai di atas. Jika GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, dilakukan sliding scale setiap 6 jam dengan regular insulin.
  3. Bila hipoglikemi belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin seperti adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glukagon 0,5-1 mg iv/im. Jika pasien belum sadar dengan GDS sekitar 200 mg/dl, diberikan hidrokortison 100 mg per 4 jam selama 12 jam atau deksametason 10 mg iv bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan manitol 1,5-2 g/kgBB iv setiap 6-8 jam dan dicari penyebab lain penurunan kesadaran. Untuk menghindari timbulnya hipoglikemia pada pasien perlu diajarkan bagaimana menyesuaikan penyuntikan insulin dengan waktu dan jumlah makanan (karbohidrat), pengaruh aktivitas jasmani terhadap kadar glukosa darah, tanda dini hipoglikemia, dan cara penanggulangannya.

Pengobatan Hipoglikemi Akut
Ringan :
15-20 g karbohidrat yang diserap dengan cepat, contoh :
Lucozade 100-150 ml mendekati setengah cangkir teh
Jus buah 150-200 ml mendekati satu cangkir teh penuh
Lemonade 150-200 ml mendekati satu cangkir teh penuh
Atau tidak diet cola
Ulangi setelah 5 menit jika tidak ada perbaikan
Kemudian
Salah satu
Mengambil makanan dengan 60 min dengan dosis insulin yang digunakan, jika sesuai
Atau 10 gr zat tepung karbohidrat (co:sepotong roti) jika makan diberikutnya 1-2 jam
Atau 20 gr zat tepung karbohidrat (2 potong roti) jika makanan tidak untuk 2 jam atau malam hari

Cek gula darah pada 30 menit untuk memastikan sudah pulih/sembuh sampai 4mmol/L
Berat :
IM glukagon 1 mg bisa diberikan efektif dengan 10 min
Kemudian
20 g karbohidrat yg diserap cepat dan jika pulih
40 g karbohidrat yg diserap cepat (co : 2 potong roti)
Atau
IV glukosa 75 ml 20% glukosa
Ulangi pada 5 min jika tidak pengaruh
Kemudian
20 g karbohidrat yang diserap cepat dan jika pulih
40 gr karbohidrat yang diserap cepat (co: 2 potong roti)
Jangan gunakan 50% glukosa kecuali kalau melewati saluran pusat vena ( central venous line)

Daftar pustaka
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006.  Jakarta. PB Perkeni. p. 30-31
Wirdasari. Program Profesi Pendidikan Dokter. Ilmu Penyakit Dalam RSUD Setjonegoro Wonosobo.
Watkins, J peter dkk. Diabetes and its management.2003. blackwell publishing: Australia

Klasifikasi dan Mode ventilasi mekanik

Klasifikasi Ventilasi Mekanik
a.    Menurut sifatnya ventilator dibagi tiga type yaitu:

Volume Cycled Ventilator.

Prinsip dasar ventilator ini adalah cyclusnya berdasarkan volume. Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai volume yang ditentukan. Keuntungan volume cycled ventilator adalah perubahan pada komplain paru pasien tetap memberikan volume tidal yang konsisten.

Pressure Cycled Ventilator

Prinsip dasar ventilator type ini adalah cyclusnya menggunakan tekanan. Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai tekanan yang telah ditentukan. Pada titik tekanan ini, katup inspirasi tertutup dan ekspirasi terjadi dengan pasif. Kerugian pada type ini bila ada perubahan komplain paru, maka volume udara yang diberikan juga berubah. Sehingga pada pasien yang setatus parunya tidak stabil, penggunaan ventilator tipe ini tidak dianjurkan.

Time Cycled Ventilator

Prinsip kerja dari ventilator type ini adalah cyclusnya berdasarkan wamtu ekspirasi atau waktu inspirasi yang telah ditentukan. Waktu inspirasi ditentukan oleh waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah napas permenit) Normal ratio I : E  (inspirasi : ekspirasi ) 1 : 2.

b.  Berdasarkan cara alat tersebut mendukung ventilasi, dua kategori umum adalah ventilator tekanan negatif dan ventilator tekanan positif.

Ventilator tekanan negatif

Ventilator tekanan negatif memberikan tekanan negatif pada dada eksternal. Dengan mengurangi tekanan intrathoraks selama inspirasi memungkinkan udara mengalir ke dalam paru-paru sehingga memenuhi volumenya. Ventilator jenis ini digunakan terutama pada gagal nafas kronik yang berhubungan dengan kondisi neurovaskuler seperti poliomyelitis, distrofi muscular , sklerosis lateral amiotrifik, dan miestania gravis. Penggunaan tidak sesuai untuk pasien yang tidak stabil atau pasien yang kondisinya membutuhkan perubahan ventilasi sering.

Ventilator tekanan positif

Ventilator tekanan positif menghubungkan paru-paru dengan mengeluarkan tekanan positif pada jalan nafas dengan demikian mendorong alveoli untuk mengembang selama inspirasi. Pada ventilator jenis ini diperlukan intubasi endotracheal atau tracheostomi. Ventilator ini secara luas digunakan pada pasien penyakit paru premier. Terdapat tiga jenis ventilator tekanan positif, yaitu: tekanan bersiklus, waktu bersiklus dan volume bersiklus.
  • Ventilator tekanan bersiklus adalah ventilator tekanan positif yang mengalami inspirasi ketika tekanan preset telah tercapai. Dengan kata lain siklus ventilator hidup mengantarkan aliran udara sampai tekanan tertentu yang telah ditetapkan seluruhnya tercapai, dan kemudian siklus mati. Ventilator tekanan bersiklus dimaksudkan untuk jangka waktu pendek diruang pemulihan.
  • Ventilator waktu bersiklus adalah ventilator yang mengakhiri atau mengendalikan inspirasi setelah waktu ditentukan. Volume udara yang diterima pasien diatur oleh kepanjangan inspirasi dan frekuensi aliran udara. Ventilator ini digunakan pada neonatus dan bayi.
  • Ventilator volume bersiklus yaitu ventilator yang mengalirkan volume udara pada setiap inspirasi yang telah ditentukan. Jika volume prest yang telah dikirmkan pada pasien, siklus ventilator mati dan ekshalasi terjadi secara pasif. Ventilator volume bersiklus sejauh ini adalah ventilator tekanan positif yang paling banyak digunakan.
Mode-Mode Ventilator

Pasien yang mendapatkan bantuan ventilasi mekanik dengan menggunakan ventilator tidak selalu dibantu sepenuhnya oleh mesin ventilator, tetapi tergantung dari mode yang kita setting. Mode mode tersebut adalah sebagai berikut:

Controlled Ventilation

Ventilator mengontrol volume dan frekuensi pernafasan.
Indikasi untuk pemakaian ventilator meliputi pasien dengan apnoe. Ventilator tipe ini meningkatkan kerja pernafasan klien. Pada mode kontrol mesin secara terus menerus membantu pernafasan pasien. Ini diberikan pada pasien yang pernafasannya masih sangat jelek, lemah sekali atau bahkan apnea. Pada mode ini ventilator mengontrol pasien, pernafasan diberikan  ke pasien pada frekwensi dan volume yang telah ditentukan pada ventilator, tanpa menghiraukan upaya pasien untuk mengawali inspirasi. Bila pasien sadar, mode ini dapat menimbulkan ansietas tinggi dan ketidaknyamanan dan bila pasien berusaha nafas sendiri bisa terjadi fighting (tabrakan antara udara inspirasi dan ekspirasi), tekanan dalam paru meningkat dan bisa berakibat alveoli pecah dan terjadi pneumothorax. Contoh mode control ini adalah: CR (Controlled Respiration), CMV (Controlled Mandatory Ventilation), IPPV (Intermitten Positive Pressure Ventilation)

Assist/Control

Ventilator jenis ini dapat mengontrol ventilasi, volume tidal dan kecepatan. Bila klien gagal untuk ventilasi, maka ventilator secara otomatis. Ventilator ini diatur berdasarkan atas frekuensi pernafasan yang spontan dari klien, biasanya digunakan pada tahap pertama pemakaian ventilator.

Intermitten Mandatory Ventilation

Model ini digunakan pada pernafasan asinkron dalam penggunaan model kontrol, klien dengan hiperventilasi. Klien yang bernafas spontan dilengkapi dengan mesin dan sewaktu-waktu diambil alih oleh ventilator.
Pada mode ini ventilator memberikan bantuan nafas secara selang seling dengan nafas pasien itu sendiri. Pada mode IMV pernafasan mandatory diberikan pada frekwensi yang di set tanpa menghiraukan apakah pasien pada saat inspirasi atau ekspirasi sehingga bisa terjadi fighting dengan segala akibatnya. Oleh karena itu pada ventilator generasi terakhir mode IMVnya disinkronisasi (SIMV). Sehingga pernafasan mandatory diberikan sinkron dengan picuan pasien. Mode IMV/SIMV diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan tetapi belum normal sehingga masih memerlukan bantuan.

Synchronized Intermitten Mandatory Ventilation (SIMV)

SIMV dapat digunakan untuk ventilasi dengan tekanan udara rendah, otot tidak begitu lelah dan efek barotrauma minimal. Pemberian gas melalui nafas spontan biasanya tergantung pada aktivasi klien. Indikasi pada pernafasan spontan tapi tidal volume dan/atau frekuensi nafas kurang adekuat.

Positive End-Expiratory pressure

Modus yang digunakan dengan menahan tekanan akhir ekspirasi positif dengan tujuan untuk mencegah Atelektasis. Dengan terbukanya jalan nafas oleh karena tekanan yang tinggi, atelektasis akan dapat dihindari. Indikasi pada klien yang menederita ARDS dan gagal jantung kongestif yang massif dan pneumonia difus. Efek samping dapat menyebabkan venous return menurun, barotrauma dan penurunman curah jantung.

Continous Positive Airway Pressure. (CPAP)

Ventilator ini berkemampuan untuk meningkatakan FRC. Biasanya digunakan untuk penyapihan ventilator. Pada mode ini mesin hanya memberikan tekanan positif dan diberikan pada pasien yang sudah bisa bernafas dengan adekuat. Tujuan pemberian mode ini adalah untuk mencegah atelektasis dan melatih otot-otot pernafasan sebelum pasien dilepas dari ventilator.

Kasus Endokrin Hipoglikemia

Kasus 3
tn s 40 tahun datang dirawat di IGD karena tidak sadarkan diri. Pasien terdiagnosa DM tipe II sejak 10 tahun yang lalu. Sudah 2 hari ini keluarga menyatakan klien merasa mual sehingga tidak mau makan namun keluarga tetap menyuntikkan insulin sesuai dosis yang di instruksikan dokter. Saat ini berdasarkan hasil pengkajian pada pasien kadar glukosa darah 30 mg/dl. Sebelum pasien tidak sadarkan diri mengeluh berdebar, berkeringat, gemetar, gelisah, mual, pusing , bingung, kelelahan, nyeri kepala, kesulitan berbicara.
Penatalaksanaan Hipoglikemia pada Diabetes Melitus
Dibuat oleh: Wirdasari,Modifikasi terakhir pada Fri 22 of Jul, 2011 [07:28 UTC]

 Abstrak
Hipoglikemia merupakan salah satu komplikasi akut diabetes melitus dan merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes, harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia pada diabetes paling sering disebabkan oleh penggunaan obat sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dan Triad yang meliputi: a) keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa plasma yang rendah; b) kadar glukosa plasma yang rendah (<3 mmol/L hipoglikemia pada diabetes), dan c) gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat. Hipoglikemia harus segera mendapat pengelolaan yang memadai. Diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 g melalui intravena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40%  intravena sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran. Telah dilaporkan kasus seorang wanita berusia 61 tahun yang datang ke IGD RSUD dalam keadaan tidak sadar. Pasien merupakan penyandang diabetes yang menjalani pengobatan dengan obat glibenklamid yang diminum sejak 3 bulan yang lalu. Pemeriksaan glukosa darah sewaktu sebesar 40 mg/dl. Dilakukan pemasangan infus dekstrosa 10% dan diinjeksikan bolus D40%  50 ml sebanyak 2 flakon. Pasien kemudian sadar dan GDS ulang sebesar 108 mg/dl.
Kata kunci: Hipoglikemia; Diabetes melitus
Kasus
Seorang wanita berusia 61 tahun datang dalam keadaan tidak sadar. Pasien merupakan penyandang diabetes yang menjalani pengobatan dengan obat glibenklamid yang diminum sejak 3 bulan yang lalu. Obat tidak diminum teratur oleh pasien. Sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh mual dan cepat lelah. Nafsu makan berkurang dan pasien tidak meminum obat glibenklamid. Pada pagi saat hari masuk rumah sakit, pasien mengeluh mual dan lemas. Pasien lalu minum obat untuk gula dan hanya makan sedikit nasi. Setelahnya, pasien bertambah lemas, keringat dingin, gemetar, lalu tak sadarkan diri. Keluarga lalu melarikan pasien ke rumah sakit. Pasien pernah menggunakan obat gula yang disuntikkan 3 kali sehari sebelum makan selama 5 hari, setelah itu menggunakan glibenklamid. Pasien mengeluh penglihatan kabur, sering kesemutan pada tungkai dan sering gatal-gatal pada badan. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 3 tahun yang lalu, tidak memiliki riwayat sakit jantung atau alergi obat. Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit gula.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 217/139 mmHg, nadi 84 kali/menit, respirasi 18 kali/menit, temperatur 36,6°C dengan penurunan kesadaran. Pemeriksaan fisik umum dalam batas normal. Pemeriksaan GDS 40 mg/dl.
Diagnosis
Pasien didiagnosis hipoglikemia pada penderita diabetes melitus
Terapi
Jalan napas pasien dipastikan aman, kemudian diberikan O2 2 liter/menit. Diperiksa kadar glukosa darah sewaktu (40 mg/dl), kemudian dipasang jalur intravena dengan infus dekstrosa 10% 6 jam per kolf. Diinjeksikan bolus D40% 50 ml sebanyak 2 flakon intravena, pasien kemudian sadar. Pemeriksaan GDS ulang = 108 mg/dl. Obat hipoglikemik dihentikan sementara. Pasien diberikan obat diltiazem 3x1 tablet.
Diskusi
Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar glukosa darah < 60 mg/dl atau < 80 mg/dl dengan gejala klinis. Hipoglikemia merupakan komplikasi akut dari diabetes, selain ketoasidosis diabetikum, dan koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik. Hipoglikemia menjadi faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah normal atau mendekati normal. Hipoglikemia pada diabetes melitus dapat terjadi karena kelebihan obat/dosis obat (terutama insulin atau obat hipoglikemik oral), kebutuhan tubuh akan insulin relatif yang menurun (gagal ginjal kronik, paska persalinan), asupan makanan yang tidak adekuat dimana jumlah kalori atau waktu makan yang tidak tepat, dan kegiatan jasmani yang berlebihan.
Faktor utama mengapa hipoglikemia menjadi penting dalam pengelolaan diabetes adalah ketergantungan jaringan saraf terhadap asupan glukosa yang terus-menerus. Glukosa merupakan bahan bakar metabolisme yang utama bagi otak. Oleh karena otak hanya menyimpan glukosa (dalam bentuk glikogen) dalam jumlah yang sangat sedikit, fungsi otak yang normal sangat tergantung dari asupan glukosa sirkulasi. Gangguan (interruption) asupan glukosa yang berlangsung beberapa menit menyebabkan gangguan fungsi sistem saraf pusat (SSP) dengan gejala gangguan kognisi, bingung, koma, sampai kematian.
Pasien diabetes anak, remaja, dan usia lanjut rentan terhadap hipoglikemia. Anak umumnya tidak dapat mengenal atau melaporkan keluhan hipoglikemia dan kebiasaan makan yang kurang teratur serta aktivitas jasmani yang sulit diramalkan. Keluhan hipoglikemia pada usia lanjut sering tidak diketahui, dan mungkin dianggap sebagai keluhan-keluhan pusing (dizzi spell) atau serangan iskemia yang sementara (transient ischemic attack). Hipoglikemia akibat sulfonilurea tidak jarang, terutama sulfonilurea yang bekerja lama seperti glibenklamid. Pada usia lanjut respon otonomik cenderung turun dan sensitifitas perifer epinefrin juga berkurang. Pada anak dan usia lanjut, sasaran kendali glikemia sebaiknya tidak terlalu ketat dan oleh sebab itu dosis insulin perlu disesuaikan. Lebih lanjut disarankan agar sulfonilurea yang bekerja lama tidak digunakan pada pasien DM tipe 2 yang berusia lanjut. Pasien diabetes yang mendapat pengobatan terutama insulin atau sulfonilurea, rentan terhadap hipoglikemia sekitar 2 jam sesudah makan sampai waktu makan yang berikutnya dan pada malam hari.
Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dan Triad Whipple yang merupakan panduan klasifikasi klinis hipeglikemia. Triad tersebut meliputi: a) keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa plasma yang rendah; b) kadar glukosa plasma yang rendah (<3 mmol/L hipoglikemia pada diabetes), dan c) gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat.
Gejala dan tanda klinis hipoglikemia tergantung pada stadiumnya. Pada stadium parasimpatik didapatkan penurunan tekanan darah, rasa lapar dan mual. Pada stadium gangguan otak ringan, didapatkan rasa lemah, lesu, sulit bicara, dan kesulitan menghitung sementara. Pada stadium simpatik, didapatkan keringat dingin pada muka, bibir, atau gemetar pada tangan. Pada stadium gangguan otak berat didapatkan ketidaksadaran dengan atau tanpa kejang. Pada pasien diabetes yang relatif masih baru, keluhan dan gejala yang terkait dengan gangguan sistem saraf otonomik seperti palpitasi, tremor, atau berkeringat lebih menonjol dan biasanya mendahului keluhan dan gejala disfungsi serebral yang disebabkan oleh neuroglikopeni seperti gangguan konsentrasi atau koma. Pada pasien diabetes lama, intensitas keluhan otonomik cenderung berkurang atau menghilang yang menunjukkan kegagalan progresif aktivasi sistem saraf otonomik.
Dari anamnesis dapat digali riwayat penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral (dosis terakhir, waktu pemakaian terakhir, dan perubahan dosis), waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi, riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya, lama menderita DM, komplikasi DM, adanya penyakit penyerta (ginjal, hati), penggunaan oba sistemik lainnya (penghambat adrenergik β, dll). Pada pemeriksaan fisik didapatkan pucat, diaphoresis, penurunan kesadaran, defisit neurologik fokal transien.
Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes, harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan obat sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. perbaikan kesadaran pada DM usia lanjutsering lebih lamban dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.
Hipoglikemia harus segera mendapat pengelolaan yang memadai. Diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 g melalui intravena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien hipoglikemia berat. Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40%  intravena terlebih dulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.
Pada stadium permulaan (sadar), diberikan gula murni 30 gram (sekitar 2 sendok makan) atau sirup/permen gula murni (bukan pemanis pengganti gula atau gula diet/gula diabetes) dan makanan yang mengandung karbohidrat. Obat hipoglikemik dihentikan sementara. Glukosa darah sewaktu dipantau setiap 1-2 jam. Bila sebelumnya pasien tidak sadar, glukosa darah dipertahankan sekitar 200 mg/dl dan dicari penyebab hipoglikemia.
Pada stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia), diberikan larutan dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml) bolus intravena dan diberikan cairan dekstrosa 10% per infus sebanyak 6 jam per kolf. Glukosa darah sewaktu diperiksa. Jika GDS < 50 mg/dl, ditambahkan bolus dekstrosa 40% 50 ml secara intravena; jika GDS < 100 mg/dl ditambahkan bolus dekstrosa 40% 25 ml intravena. GDS kemudian diperiksa setiap 1 jam setelah pemberian dekstrosa 40%, jika GDS < 50 mg/dl maka ditambahkan bolus dekstrosa 40% 50 ml intravena; jika GDS < 100 mg/dl maka ditambahkan bolus dekstrosa 40% 25 ml intravena; jika GDS 100-200 mg/dl maka tidak perlu diberikan bolus dekstrosa 40%; jika GDS > 200 mg/dl maka dipertimbangkan untuk menurunkan kecepatan drip dekstrosa 10%.
Jika GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDS dilakukan setiap 2 jam dengan protokol sesuai di atas. Jika GDS > 200 mg/dl, pertimbangkan mengganti infus dengan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.
Jika GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDS dilakukan setiap 4 jam dengan protokol sesuai di atas.
Jika GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, dilakukan sliding scale setiap 6 jam dengan regular insulin.
Bila hipoglikemi belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin seperti adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glukagon 0,5-1 mg iv/im. Jika pasien belum sadar dengan GDS sekitar 200 mg/dl, diberikan hidrokortison 100 mg per 4 jam selama 12 jam atau deksametason 10 mg iv bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan manitol 1,5-2 g/kgBB iv setiap 6-8 jam dan dicari penyebab lain penurunan kesadaran. Untuk menghindari timbulnya hipoglikemia pada pasien perlu diajarkan bagaimana menyesuaikan penyuntikan insulin dengan waktu dan jumlah makanan (karbohidrat), pengaruh aktivitas jasmani terhadap kadar glukosa darah, tanda dini hipoglikemia, dan cara penanggulangannya.
Pada kasus ini, pasien merupakan penderita diabetes melitus tipe 2 yang selama ini mendapat terapi glibenklamid. Glibenklamid yang dikonsumsi pasien merupakan golongan sulfonilurea yang sering menimbulkan hipoglikemia. Selain konsumsi glibenklamid, kurangnya asupan makanan menyebabkan hipoglikemia terjadi pada pasien ini. Pada pasien diberikan infus dekstrose 10% dam injeksi bolus D40% 50 ml sebanyak 2 flakon yang meningkatkan GDS dari 40 mg/dl menjadi 108 mg/dl dan gejala-gejala hipoglikemia menghilang. Pada pasien, perlu dilakukan pengawasan kadar glukosa darah sampai obat glibenklamid diekskresi sepenuhnya oleh tubuh, karena sulfonilurea yang memiliki kerja panjang sehingga dapat menyebabkan episode hipoglikemia berulang.
Kesimpulan
Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar glukosa darah < 60 mg/dl atau < 80 mg/dl dengan gejala klinis. Hipoglikemia merupakan komplikasi akut dari diabetes. Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dan Triad Whipple yang merupakan panduan klasifikasi klinis hipeglikemia. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes, harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan obat sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia harus segera mendapat pengelolaan yang memadai. Diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 g melalui intravena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40%  intravena sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.
Referensi
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006.  Jakarta. PB Perkeni. p. 30-31
Rani, AA. Soegondo, S. Nasir, AUZ. Wijaya, IP.  et al. 2006.  Perhimpunan Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipoglikemi. Jakarta. PB PAPDI.  p.23-25
Soemadji, DW. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi Keempat Jilid III. Hipoglikemia Iatrogenik. Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1870-1873
Penulis
Wirdasari. Program Profesi Pendidikan Dokter. Ilmu Penyakit Dalam RSUD Setjonegoro Wonosobo.
HIPOGLIKEMIA PADA PASIEN DENGAN DIABETES MELLITUS
Dibuat oleh: Galuh Widowati,Modifikasi terakhir pada Wed 22 of Sep, 2010 [11:41]

Abstrak :
Hipoglikemia secara harfiah berarti kadar glukosa darah berada dibawah harga normal..Dalam hal ini diagnosis hipoglikemi dapat ditegakan bila kadar glukosa < 50 mg% (2,8mmol/l) atau bahkan < 40mg% (2,2mmol/l). Pada umumnya gejala hipoglikemia baru muncul bila kadar glukosa darah < 45 mg%.Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik berupa palpitasi, keluar banyak keringat, tremor, ketakutan, rasa lapar dan mual, dan neurologis berupa pusing, pandang kabur, ketajam mental menurun, hilangnya keterampilan motorik halus, penurunan kesadaran, kejang-kejang dan koma. Pada pasien ini terjadi penurunan kesadaran dan dari pemeriksaan kadar gula darah sewaktu terjadi penurunan kadar gula.
Kata Kunci : hipoglikemia, diabetes melitus.
History :
Bpk. H umur 62 tahun, dibawa ke IGD RS Saras Husada karena ditemukan pingsan oleh tetangganya. Pasien mengaku sebelum pingsan, pasien minum obat dari puskesmas, namun pasien tidak dapat menyebutkan obat apa yang diminum. Pasien mengeluh lemas dan berkeringat banyak sebelum akhirnya jatuh pingsan. Pada saat datang ke IGD keadaan pasien buruk, kemudian dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS), didapatkan hipoglikemia (28 mg%). Setelah pasien sadar, pasien mengaku sering kencing di malam hari, badan terasa lemas dan kaki terasa kesemutan dan jari tangan sulit untuk ditekuk. Namun saat ditanyakan riwayat DM pasien menyangkalnya. Pasien mengaku hanya mengaku mempunyai riwayat hipertensi dan pernah mengalami stroke 2 tahun yang lalu Riwayat penyakit DM pada keluarga disangkal. Pada pemeriksaan fisik ditemukan KU lemah, hipertensi, konjungtiva anemis, pada ekstremitas superior jari tangan kiri tidak bisa ditekuk, dan pada ekstremitas inferior terdapat kesemutan. Pemeriksaan penunjang laboratorium darah lengkap terdapat anemia, dan pada pemeriksaan kimia darah terdapat hipoglikemia.
Diagnosis :
Diabetes mellitus tipe II dengan hipoglikemia dan komplikasi polineurophati diabetik , Anemia, Pasca stroke
Terapi :
Penatalaksanaan awal pada pasien ini adalah diberikan O2 4 lt/menit, terapi cairan berupa D 10% 20 tetes per menit, untuk mengatasi hipoglikemia dilakukan injeksi D 40% sebanyak 2 ampul. Selain pengobatan hipoglikemia penatalaksanaan untuk komplikasi diabetes berupa polineuropati diberikan injeksi Thiamin 1 ampul setiap 24 jam, Citicholin 500 mg setiap 12 jam. Pengobatan lainnya berupa Injeksi Ampicillin 1gram setiap 8 jam, Captopril 12,5 mg setiap 24 jam, dan untuk mengatasi anemia dilakukan tranfusi PRC 2 kolf, dan pemberian tablet SF setiap 8 jam. Pengaturan diet DM sebesar 1700 kalori setiap hari.
Diskusi :
Dari anamnesis diketahui bahwa pasien tidak mengetahui bahwa dirinya menderita DM, namun pasien mengkonsumsi OHO dari Puskesmas. Pasien mengeluh lemas dan berkeringat banyaksetelah minum obat. Pasien mengalami hipoglikemia setelah dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu. Hal ini yang menyebabkan pasien mengalami tidak sadarkan diri.
Etiologi hipoglikemia pada DM yaitu hipoglikemia pada DM stadium dini, hipoglikemia dalm rangka pengobatan DM yang berupa penggunaan insulin, penggunaan sulfonil urea, bayi yang lahir dari ibu pasien DM, dan penyebab lainnya adalah hipoglikemia yang tidak berkaitan dengan DM berupa hiperinsulinisme alimenter pos gastrektomi, insulinoma, penyakit hati yang berat, tumor ekstrapankreatik, hipopitiutarism
Gejala-gejala yang timbul akibat hipoglikemia terdiri atas 2 fase. Fase 1 yaitu gejala-gejala yang timbul akibat aktivasi pusat autonom di hipotalamus sehingga dilepaskannya hormon efinefrin. Gejalanya berupa palpitasi, keluar banyak keringat, tremor, ketakutan, rasa lapar dan mual. gejala ini timbul bila kadar glukosa darah turun sampai 50% mg. Sedangkan Fase 2 yaitu gejala-gejala yang terjadi akibat mulai terjadinya gangguan fungsi otak , karena itu dinamakan juga gejala neurologi. Gejalanya berupa pusing, pandang kabur, ketajam mental menurun, hilangnya keterampilan motorik halus, penurunan kesadaran, kejang-kejang dan koma.gejala neurologi biasanya muncul jika kadar glukosa darah turun mendekati 20% mg.
Pada pasien ini menurut gejalanya telah memasuki fase 2 karena telah terjadi gangguan neurologik berupa penurunan kesadaran, pusing, dan penurunan kadar glukosa plasma mendekati 20 mg%.dan menurut stadiumnya pasien telah mengalami stadium gangguan otak karena terdapat gangguan kesadaran.
Pada pasien DM yang mendapat insulin atau sulfonilurea diagnosis hipoglikemia dapat ditegakan bila didapatkan gejala-gejala tersebut diatas. Keadaan tersebut dapat dikonfirmasikan dengan pemeriksaan glukosa darah. Bila gejalanya meragukan sebaiknya ambil dulu darahnya untuk pemeriksaan glukosa darah. Bila dengan pemberian suntik bolus dekstrosa pasien yang semula tidak sadar kemudian menjadi sadar maka dapat dipastiakan koma hipogikemia.sebagai dasar diagnosis dapat digunakan trias whipple, yaitu gejala yang konsisten dengan hipoglikemia, kadar glukosa plasma rendah, gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat
Prognosis dari hipoglikemia jarang hingga menyebabkan kematian. Kematian dapat terjadi karena keterlambatan mendapatkan pengobatan, terlalu lama dalam keadaan koma sehingga terjadi kerusakan jaringan otak.
Kesimpulan :
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik dan gejala neurologis. Pada pasien ini terjadi hipoglikemia, yang mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran yang merupakan gejala neurologi akibat hipoglikemia.
Referensi :
1        Soemadji, Djoko Wahono., (2006) Hipoglikemia Iatrogenik, Penyakit Dalam, jilid 3, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta
2        Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000, (2000), Depertemen Kesehatan Republik Indonesia Badan Pengawasan Obat Dan Makanan, Jakarta
3        ISO Indonesia, (2008), Penerbit Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Jakarta
4        Subekti, Imam; Boedisantoso, (2005), Komplikasi Akut Diabetes Mellitus, Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu, FKUI, Jakarta   
Penulis
Galuh Widowati, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, RSUD Saras Husada, Kab. Purworejo, Jawa Tengah
Hipoglikemia pada Diabetes Melitus
Dibuat oleh: Hera Hapsari,Modifikasi terakhir pada Fri 23 of Sep, 2011 [00:31 UTC]
ABSTRAK
Wanita 50 tahun dengan penurunan kesadaran setelah minum obat DM dari puskesmas.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien tampak lemah dengan penurunan kesadaran, Nadi : 124 x/menit, Respirasi : 28 x/menit, regular, suhu : 35,4ºC (axilla). Pada pemeriksaan fisik ekstrimitas teraba dingin. Gula darah sewaktu 28 mg/dL. Dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan urin rutin dengan hasil terdapat protein dan glukosa pada urin.
Kata kunci : Diabetes Melitus, Hipoglikemia

ISI
Wanita 50 tahun diantar ke IGD dengan penurunan kesadaran (pingsan) setelah minum obat DM dari puskesmas, sebelumnya pasien merasa gemetar dan keluar keringat dingin. Satu minggu terakhir pasien merasa mual namun tidak sampai muntah. Karena keluhan ini pasien tidak nafsu makan. Tiga hari SMRS pasien memeriksakan diri ke Puskesmas. Pada hari masuk rumah sakit pasien datang tidak sadarkan diri setelah minum satu tablet obat DM dari Puskesmas.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien tampak lemah dengan penurunan kesadaran, Nadi : 124 x/menit, Respirasi : 28 x/menit, regular, suhu : 35,4ºC (axilla). Pada pemeriksaan fisik ekstrimitas teraba dingin. Gula darah sewaktu 28 mg/dL. Dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan urin rutin dengan hasil terdapat protein dan glukosa pada urin.
Diagnosis
DM type II dengan Hipoglikemia
Terapi
Pada pasien dilakukan pemberian larutan destrosa 40% sebanyak 2 flakon (50 mL) bolus intra vena untuk mengatasi keadaan hipoglikemia. Gula darah dipertahankan sekitar 200 mg/dL. Selama pemantauan pasien mengalami peningkatan kadar gula darah mencapai 250 mg/dL, farmakoterapi yang diberikan berupa suntikan insulin dengan dosis 5 IU.

DISKUSI
Dari anamnesis diketahui bahwa pasien menderita DM sejak 1 tahun terakhir, pasien rutin mengkonsumsi OHO dari Puskesmas. Pada hari masuk Rumah Sakit, pasien seperti biasa mengkonsumsi OHO, namun karena adanya mual pasien menjadi tidak nafsu makan sehingga pasien tidak makan sebelum mengkonsumsi obat tersebut, akhirnya pasien mengalami hipoglikemia yang ditandai dengan keluar keringat dingin, gelisah dan akhirnya tidak sadarkan diri. Riwayat hipertensi dibenarkan namun pasien tidak rutin mengkonsumsi obat antihipertensi. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium kimia darah menandakan pasien dalam keadaan hipoglikemia. Ureum dan kreatinin pasien berada pada batas normal. Kolesterol total dan trigliserida normal.
Setiap penderita diabetes melitus yang memiliki penurunan kesadaran, harus dapat mengantisipasi kemungkinan menderita hipoglikemia. Perbaikan kesadaran pada para penderita diabetes melitus terutama diusia lanjut sangat lambat.
hipoglikemia sering disebabkan oleh sulfonilurea dan insulin. hipoglikemia alibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi dengan benar sampai semua obat telah berhasil di ekskresi, yang terkadang memerlukan waktu lama (sekitar 24 hingga 36 jam, bahkan mungkin lebih bagi penderita dengan gagal ginjal kronik).
hipoglikemia memiliki gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak berkeringat, gemetar, dan memiliki rasa lapar) dan gejala neuroglikopenik (merasa pusing, gelisah, kesadaran menurun, bahkan hingga koma). Semua penderita diabetes melitus yang mendapat obat hipoglikemik oral, maupun insulin harus mendapat penyuluhan mengenai gejala hipoglikemia dan bagaimana mengatasinya. Demikian pula keluarga penderita.
Hipoglikemia dapat diatasi dengan memberikan air manis, minuman yang mengandung gula murni, berkalori, bukan gula pemanis. Penderita juga dapat diberi suntikan glukosa 40% intravena atau glukagon jika diperlukan. Untuk pasien yang tidak sadar, pemberian glukosa 40% intravena merupakan tindakan darurat yang pertama kali diberikan.

KESIMPULAN
Reaksi hipoglikemia adalah gejala yang timbul akibat tubuh kekurangan glukosa, dengan tanda-tanda rasa lapar, gemetar, keringat dingin, pusing. Jika keadaan ini tidak segera diobati, penderita dapat menjadi koma.
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik dan gejala neurologis. Pada pasien ini terjadi hipoglikemia, yang mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran yang merupakan gejala neurologi akibat hipoglikemia.

Referensi
Basuki, 2002 dalam Soegondo. Penyuluhan Diabetes Melitus. Jakarta: FKUI.Gray, dkk. 2005. Lecture Notes Kardiologi. Jakarta: EMS.
Hartono Andry. 1995. Tanya Jawab Diet Penyakit Gula. Jakarta: Arcan.
Suyono, 2002 dalam Soegondo. Kecenderungan Peningkatan Jumlah Pasien Diabetes. Jakarta: FKUI.
Soesirah, 1990. Penatalaksanaan Gizi pada Diabetes Melitus. Jakarta: FKUI.
Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus di Indonesia, 1998, PERKENI, Jakarta.
Noer S, ed, 1996,  Gambaran Klinis Diabetes Melitus dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Ed-ke 3, FKUI, Jakarta

Penulis
Hera Hapsari, Bagian Ilmu Penyakit dalam, RSUD Temanggung.
HIPOGLIKEMIA PADA PASIEN DIABETES MELLITUS PENGGUNA OHO
Dibuat oleh: Rizka Novita I,Modifikasi terakhir pada Wed 20 of Jul, 2011 [04:40 UTC]
Abstract
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan oleh penurunan kadar gula darah hingga <50mg% (2,8mmol/L). Pada pasien DM hipoglikemia timbul akibat peningkatan kadar insulin yang kurang tepat baik sesudah penyuntikan insulin sub-kutan , atau karena obat yang meningkatkan sekresi insulin seperti sulfonilurea. Oleh sebab itu dijumpai saat-saat dan keadaan tertentu di mana pasien diabetes mungkin akan mengalami kejadian hipoglikemia seperti 2 jam setelah makan dan malam hari. Pada diabetes mellitus tipe II, kejadian hipoglikemia berat jauh lebih sedikit. Berdasarkan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), pada kadar HbA1C yang setara dengan DCCT (The Diabetes Control and Complication Trial Research), dalam 10 tahun pertama kejadian hipoglikemia berat dengan terapi klorpropamid timbul pada 0,4% pasien, glibenklamid 0,6%, dan insulin 2,3%. Pasien NIDDM yang mendapat terapi sulfonilurea dan mengalami hipoglikemia biasanya berumur >60 tahun dan mengalami insufisiensi ginjal ringan. Kasus kali ini adalah pasien DM pengguna 3 jenis OHO yang ditemukan tidak sadarkan diri dan didiagnosis menderita hipoglikemia.
Keyword : Hipoglikemia, Diabetes Mellitus, OHO.
History
Ny.J, Umur 72 tahun, datang karena ditemukan tidak sadarkan diri. Riwayat penyakit sekarang Tiba-tiba pasien tidak sadarkan diri. Keluarga tidak tahu kapan makan terakhir pasien. Beberapa hari terakhir pasien merasa kurang enak badan dan nafsu makan menurun. Demam (-), kejang (-), diare (-), muntah (-), keringat dingin (+). Riwayat DM (+), sejak 1 tahun yang lalu pasien pengguna 3 jenis OHO, namun tidak diketahui jenis dan jumlah pemakaian per-hari. Riwayat hipertensi (+), tidak diketahui obat untuk terapi hipertensi yang dikonsumsi. Riwayat DM dan hipertensi pada keluarga disangkal. KU: sopor. GCS: E1 M1 V2. TD: 168/90, HR: 108x/m, RR:32x/m, T: 36oC. Cephal: CA +/+, SI -/-. Leher: Lnn (-), JVP (-) Thoraks: Simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-). Cor: S1 S2 Reguler, bising (-), Takikardi. Pulmo: SD Vesikuler, ST (-). Abdomen: Supel, BU (+), nyeri tekan (?), turgor baik. Ekstremitas: Akral dingin, perfusi baik, CRT<2”, edema (-). PEMERIKSAAN PENUNJANG: GDS: 37. Ureum 111; Creatinin 3,0; SGOT: 34; SGPT: 25; Na: 132; K: 6,0; Cl: 104; Ca: 7,4. AL: 12,1; AE: 3,46; HB: 10,1; HT: 29,8; LED: 120/>140.
Diagnostic
Koma hipoglikemia, Hipertensi grade II, Kenaikan ureum creatinin e.c insufisiensi renal, Anemia
Therapy
Infus D5% 20 tpm, Bolus D40% 4 flash, O2 3 Lpm, Amlodipin 1x5mg, Prorenal 3x1, Paracetamol 500 mg 2x1, Alpha Lipoic Acid+Cyanocobalamin 2x1, Inj.Ceftriaxone 1x1gr, Vitamin Bcomplex 2x1
Discussion
Hipoglikemia adalah salah satu komplikasi akut dari diabetes mellitus. Kebanyakan terjadi pada pasien diabetes mellitus yang mendapat terapi insulin atau sulfonilurea. Selain itu juga dapat terjadi karena aktifitas fisik yang berlebih atau intake yang kurang atau terlambat. Pasien dan orang-orang terdekatnya perlu mengetahui tanda-tanda dan cara menangani hipoglikemia untuk mengurangi dampak yang parah. Sebagian besar pasien hipoglikemia dapat ditangani dengan baik dan mampu bertahan dari keadaan hipoglikemia.
Untuk pasien ini, pasien diketahui menderita DM sejak 1 tahun yang lalu. Pasien merupakan pengguna obat hipoglikemik oral (OHO) dan bukan pengguna insulin. Pasien menggunakan 3 jenis OHO namun tidak diketahui jenis dan dosis pemakaian dalam sehari.
Kemungkinan hipoglikemia pada pasien ini ada 2 hal. Yaitu obat-obatan dan asupan yang kurang. Salah satu OHO yang digunakan pasien mungkin adalah sulfonilurea, yang cara kerjanya meningkatkan sekresi insulin oleh pankreas dan meningkatkan jumlah serta performance dari reseptor insulin2. Golongan sulfonilurea diketahui mempunyai efek hipoglikemik yang poten, sehingga pasien perlu diingatkan untuk melakukan jadwal makanan yang ketat. Sementara beberapa hari ini, asupan makanan pasien kurang, dan konsumsi obat tetap berjalan. Kadar glukosa darah lebih rendah dari biasanya, dan insulin dipicu oleh obat-obatan. Akibat kerja insulin, glukosa masuk ke dalam sel, dan kadar glukosa darah menurun drastis sehingga terjadi hipoglikemia.
Untuk stadium pasien, melihat dari klinis ketika pasien datang ke UGD yaitu tidak sadar, berkeringat dingin, dan berdebar-debar, kemungkinan pasien telah melewati stadium simpatik dan mulai memasuki stadium gangguan otak berat.
Terapi yang diberikan pada pasien ini yakni pemberian glukosa awal berupa D5% 20 tpm dilanjutkan dengan bolus D40% 4 flash. Pemberian amlodipin diberikan karena pada awal tiba di UGD tekanan darah pasien tinggi. Untuk terapi hari selanjutnya pemberian dekstrosa menyesuaikan dengan keadaan gula darah pasien, prorenal sebagai terapi insufisiensi renal (kenaikan ureum dan creatinin), anti oksidan sebagai terapi untuk gejala neuropati DM yang timbul, vitamin B untuk suplemen dari defisit neurologis, ceftriaxone sebagai antibiotik karena pada pemeriksaan darah rutin terdapat tanda infeksi lama (peningkatan LED).
Conclusion
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosis Koma hipoglikemia, Hipertensi grade II . Hipoglikemia adalah salah satu komplikasi akut dari diabetes mellitus. Kebanyakan terjadi pada pasien diabetes mellitus yang mendapat terapi insulin atau sulfonylurea. Penanganan hipoglikemia adalah meningkatkan kadar gula darah segera dengan pemberian glukosa atau antagonis insulin. Pasien dan orang-orang terdekatnya perlu mengetahui tanda-tanda dan cara menangani hipoglikemia untuk mengurangi dampak yang parah. Sebagian besar pasien hipoglikemia dapat ditangani dengan baik dan mampu bertahan dari keadaan hipoglikemi.
Referensi
1. Soemadji, Djoko Wahono. Hipoglikemia Iatrogenik. Dalam Sudoyo, AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV (hal.1892-1895). Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2.  R, A. Boedisantoso., Subekti I. Komplikasi Akut Diabetes Melitus. Dalam Soegond S, dkk. 2005. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu Bab X (hal.161-168). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
3.  Setiawan I, dkk (editor). Guyton AC, Hall, John E, 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC.
4.  Molina, Patricia E, MD, Ph.D. 2006. Lange Endocrine Physiology Second Edition. United States Of America: Lange Medical Books/ Mc.Graw-Hill.
Penulis: Rizka Novita Indriani (20050310014), Program Pendidikan Profesi Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota Salatiga

Asuhan Keperawatan Hifema

HIFEMA

A. Anatomi dan Fisiologi Pada Mata

Secara garis besar anatomi mata dapat dikelompokkan menjadi empat bagian, dan untuk ringkasnya fisiologi mata akan diuraikan secara terpadu. Keempat kelompok ini terdiri dari :

1)      Palpebra

Dari luar ke dalam terdiri dari : kulit, jaringan ikat lunak, jaringan otot, tarsus, vasia dan konjungtiva.

Fungsi dari palpebra adalah untuk melindungi bola mata, bekerja sebagai jendela memberi jalan masuknya sinar kedalam bola mata, juga membasahi dan melicinkan permukaan bola mata.

2)      Rongga mata

Merupakan suatu rongga yang dibatasi oleh dinding dan berbentuk sebagai piramida kwadrilateral dengan puncaknya kearah foramen optikum. Sebagian besar dari rongga ini diisi oleh lemak, yang merupakan bantalan dari bola mata dan alat tubuh yang berada di dalamnya seperti: urat saraf, otot-otot penggerak bola mata, kelenjar air mata, pembuluh darah

3)      Bola mata

Menurut fungsinya maka bagian-bagiannya dapat dikelompokkan menjadi:

o   Otot-otot penggerak bola mata

o   Dinding bola mata yang teriri dari : sklera dan kornea. Kornea kecuali sebagai dinding juga berfungsi sebagai jendela untuk jalannya sinar.

o   Isi bola mata, yang terdiri atas macam-macam bagian dengan fungsinya masing-masing

4)      Sistem kelenjar bola mata

Terbagi menjadi dua bagian:

o    Kelenjar air mata yang fungsinya sebagai penghasil air mata

o    Saluran air mata yang menyalurkan air mata dari fornik konjungtiva ke dalam rongga hidung
B.    Definisi

Hifema adalah adanya darah di dalam kamera anterior (Smeltzer,2001). Hifema atau adanya darah dalam bilik mata depan dapat terjadi karena trauma tumpul (Sidarta,1998). Bila pasien duduk, hifema akan terlihat mengumpul di bagian bawah bilik mata depan dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan. Darah dalam cairan aqueus humor dapat membentuk lapisan yang terlihat. Jenis trauma ini tidak perlu menyebabkan perforasi bola mata.

C.    Etiologi

Hifema biasanya disebabkan trauma pada mata, yang menimbulkan perdarahan atau perforasi (Douglas, 2002). Inflamasi yang parah pada iris, sel darah yang abnormal dan kanker mungkin juga bisa menyebabkan perdarahan pada bilik depan mata. Trauma tumpul dapat merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Gaya-gaya kontusif akan merobek pembuluh darah iris dan merusak sudut kamar okuli anterior. Tetapi dapat juga terjadi secara spontan atau pada patologi vaskuler okuler. Darah ini dapat bergerak dalam kamera anterior, mengotori permukaan dalam kornea.
D.    Tanda dan Gejala
Pandangan mata kabur
Penglihatan sangat menurun
Kadang – kadang terlihat iridoplegia & iridodialisis
Pasien mengeluh sakit atau nyeri
Nyeri disertai dengan efipora & blefarospasme
Pembengkakan dan perubahan warna pada palpebra
Retina menjadi edema & terjadi perubahan pigmen
Otot sfingter pupil mengalami kelumpuhan
Pupil tetap dilatasi (midriasis)
Tidak bereaksi terhadap cahaya beberapa minggu setelah trauma.
Pewarnaan darah (blood staining) pada kornea
12.  Kenaikan TIO (glukoma sekunder )
13.  Sukar melihat dekat
14.  Silau akibat gangguan masuknya sinar pada pupil
15.  Anisokor pupil
16.  Penglihatan ganda (iridodialisis)

E.      Patofisiologi / Pathways

Terlampir

F.       Pemeriksaan Diagnostik
1.     Kartu mata snellen (tes ketajaman penglihatan) : mungkin terganggu akibat kerusakan kornea, aqueus humor, iris dan retina.
2.     Lapang penglihatan : penurunan mungkin disebabkan oleh patologi vaskuler okuler,glukoma.
3.     Pengukuran tonografi : mengkaji tekanan intra okuler ( TIO ) normal 12-25 mmHg.
4.     Tes provokatif : digunakan untuk menentukan adanya glukoma bila TIO normal atau meningkat ringan.
5.     Pemeriksaan oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler, edema retine, bentuk pupil dan kornea.
6.     Darah lengkap, laju sedimentasi LED : menunjukkan anemia sistemik/infeksi.
7.     Tes toleransi glokosa : menentukan adanya /kontrol diabetes.
G.   Penatalaksanaan Medis
1.     Pasien tetap istirahat ditempat tidur (4-7 hari) sampai hifema diserap.
2.     Diberi tetes mata antibiotika pada mata yang sakit dan diberi bebat tekan.
3.     Pasien tidur dengan posisi kepala miring 60º diberi koagulasi.
4.     Kenaikan TIO diobati dengan penghambat anhidrase karbonat. (asetasolamida).
5.     Di beri tetes mata steroid dan siklopegik selama 5 hari.
6.     Pada anak-anak yang gelisah diberi obat penenang
7.     Parasentesis tindakan atau mengeluarkan darah dari bilik mata depan dilakukan bila ada tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma sekunder, hifema penuh dan berwarna hitam atau bila setelah 5 hari tidak terlihat tanda-tanda hifema akan berkurang.
8.     Asam aminokaproat oral untuk bekuan darah.
9.     Evakuasi bedah jika TIO lebih 35 mmHg selama 7 hari atau lebih 50 mmH selama 5 hari.
10. Vitrektomi dilakukan bila terdapat bekuan sentral dan lavase kamar anterior.
11. Viskoelastik dilakukan dengan membuat insisi pada bagian limbus.


H.      Pengkajian
1. Data subyektif
a.      Pandangan kabur atau ganda
b.     Penglihatan silau
c.      Penglihatan berkurang atau tidak ada
d.     Kesukaran melihat dekat
e.      Kelelahan dan ketegangan mata
f.      Nyeri
g.     Peningkatan air mata (epifora)
2.    Data obyektif
a.        Tanda-tanda vital
b.       Drainase
c.        Haemoragi
d.       Anisokor pupil
e.        Pupil tidak bereaksi terhadap sinar
f.        Perubahan kelopak mata, edema, kekakuan, kemerahan
g.       Ketajaman penglihatan
h.       Pembengkakan kelopak mata
i.         Edema kornea kontusio orbita kelopak mata

3.            Kondisi / penyakit yang menyertai
a.        Diabetes melitus
b.       Masalah-masalah sinus
c.        Hipertensi
d.       Glaukoma
e.        Penyakit, trauma atau tumor yang berhubungan dengan serebral
f.        Robekan retina
g.       Penyakit autoimun

4.  Pembedahan atau penyakit sebelumnya
a.        Pembedahan atau penanganan mata
b.       Trauma kepala atau muka
c.        Koma hipertensi
d.       Degenerasi retina
e.        Ketergantungan zat

5.                                                                             Riwayat keluarga
a.          Glaukoma
b.         Diabetes melitus
c.          Katarak
d.         Pigmentosa retinitis

6.  Riwayat sosial
a.          Bahaya pekerjaan atau rekreasi
b.         Kewaspadaan keamanan yang digunakan
c.          Ketergantungan obat atau alkohol
d.         Kerja fisik yang berat

I.         Diagnosa Keperawatan
1.  Nyeri berhubungan dengan terpajannya reseptor nyeri sekunder terhadap trauma tumpul

Tujuan                        : Rasa nyeri berkurang

Kriteria hasil   :

a.      Pasien mendemonstrasikan pengetahuan pengontrolan nyeri

b.     Pasien mengalami dan mendemonstrasikan periode tidur yang tidak terganggu

c.      Pasien mengatakan nyeri berkurang dengan skala nyeri ringan (1-3)
Intervensi        :

b.    Kaji tipe, intensitas dan lokasi nyeri

c.    Gunakan tingkatan skala nyeri untuk menentukan dosis analgetik

d.   Pertahankan tirah baring dengan posisi tegak atau posisi kepala 60º

e.    Lakukan bebat mata pada bagian yang sakit

f.     Berikan kompres dingin untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan

g.    Berikan sedasi untuk meminimalkan aktivitas

h.    Berikan analgetik dan kortikosteroid

i.      Berikan gosok punggung, perubahan posisi untuk

meningkatkan kenyamanan

j.      Bantu ajarkan teknik relaksasi

2.  Resiko terjadi komplikasi dan perdarahan ulang berhubungan dengan  patologi vaskuler okuler

Tujuan                        : Tidak terjadi perdarahan ulang

Kriteria hasil   :

a.         Perdarahan utama segera berhenti dan dapat diserap kembali

b.        Jumlah darah dalam kamera okuli  anterior tidak bertambah

c.         Tidak terjadi obstruksi pada jaringan trabekular

Intervensi        :
a.       Kaji jumlah perdarahan pada okuli anterior
b.       Mata diperiksa untuk melihat adanya perdarahan sekunder
      dan kenaikan TIO
c.       Pertahankan tirah baring dan pemberian sedasi untuk minimal aktivitas
d.      Posisikan pasien tetap dalam posisi tegak diam
e.       Berikan balut tekan pada mata yang sakit dan lakukan penggantian balutan
f.        Beri koagulansia dan antibiotika
g.       Evakuasi perdarahan dengan parasentesis
h.       Berikan anhidrase karbonat (asetasolamide) untuk atasi kenaikan TIO

3.       Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan penglihatan

Tujuan                        : Pasien mampu beradaptasi dengan perubahan

Kriteria hasil   :

a.      Pasien menerima dan mengatasi sesuai dengan keterbatasan penglihatan

b.     Menggunakan penglihatan yang ada atau indra lainnya secara adekuat

Intervensi        :

a.      Perkenalkan pasien dengan lingkungan sekitarnya

b.     Beritahu pasien untuk mengoptimalkan alat indera yang lain

c.      Bantu pasien untuk beradaptasi menggunakan indera lainnya yang tidak mengalami trauma

d.     Kunjungi dengan sering untuk menentukan kebutuhan dan menghilangkan ansietas

e.      Anjurkan untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran

f.      Libatkan orang terdekat dalam perawatan dan aktivitas

g.     Kurangi bising dan berikan istirahat yang seimbang

4.       Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan dan penurunan ketajaman penglihatan

Tujuan                        : Ansietas dapat teratasi

Kriteria hasil   :

a.       Pasien mendemonstrasikan penilaian penanganan adaptif untuk mengurangi ansietas

b.       Pasien mendemonstrasikan pemahaman proses penyakit

Intervensi        :

a.      Kaji tingkat ansietas pasien

b.     Diskusikan metode penanganan ansietas

c.      Dorong mengungkapkan ansietas

d.     Pertahankan limgkungan yang tenang

e.      Berikan dukungan emosional

f.      Tempatkan seluruh barang-barang yang dibutuhkan dalam jarak yang dapat dijangkau

g.     Pastikan bahwa bantuan terhadap aktivitas sehari-hari akan ada

h.     Bantu atau ajarkan teknik relaksasi, nafas dalam, meditasi

5.     Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai perawatan diri dan proses penyakit

Tujuan                        : Pasien memiliki pengetahuan yang cukup mengenai penyakitnya

Kriteria hasil   :

a.       Pasien memahami instruksi pengobatan

b.       Pasien memverbalisasikan gejala-gejala untuk dilaporkan

Intervensi        :

a.      Beritahu pasien tentang penyakit yang diderita

b.     Ajarkan perawatan diri selama sakit

c.      Ajarkan prosedur penetesan obat tetes mata dan penggantian balutan

d.     pada pasien dan keluarga

e.      Diskusikan gejala-gejala terjadinya perdarahan ulang dan kenaikan TIO

DAFTAR PUSTAKA

1.     Vaughan, Dale. Oftalmologi Umum. Alih bahasa Jan Tambajong dan Brahm U. Ed. 14. Jakarta : Widya Medika ; 2000.
2.     Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cet. 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 1998.
3.     Tucker, Susan Martin et al. Standar Perawatan Pasien : proses keperawatan, diagnosis dan evaluasi. Alih bahasa Yasmin Asih dkk. Ed. 5. Jakarta : Egc ; 1998
4.     Darling, Vera H & Thorpe Margaret R. Perawatan Mata. Yogyakarta : Penerbit Andi; 1995.
5.     Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.
6.     Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999
7.     Douglas, Raymond S. Hifema. Departement of Ophthalmology, UCLA Menical Center, Los Angeles, CA. 2002
 

(c)2009 Nursing Care Moslem. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger